Tuesday, December 8, 2015

Untukmu Saudaraku


Diantara kita mungkin banyak yang belum mengenal saya. Dan ada sedikit yang mengenal saya. Dibeberapa tulisan yang pernah saya buat, saya tak pernah menceritakan siapa diri saya. Jelas kalau urusan ini tidak terlalu penting. Namun untuk kali ini, izinkanlah saya menceritakan sedikit tentang diri saya.
Perkenalkan, namaku Sastrawan Tarigan. Aku dilahirkan tanggal 1 Juni 1996. Terlahir dari keluarga sederhana. Bapakku Karo, dan ibuku Batak Toba. Seluruh keluargaku tak ada yang muslim. Akupun terlahir sebagai seorang Katolik. Dimasa kecilku, aku termasuk anak yang ta’at ke gereja. Setidaknya hingga masa-masa aku tamat sekolah dasar. Ketika aku SMP, tak kupungkiri aku bukanlah seorang Katolik yang ta’at. Tapi disekolah aku termasuk anak yang unggul dalam pelajaran agama. Bisa dikatakan aku termasuk murid kesayangan guru agamaku. Dimasa itu aku mengalami pergolakan batin tentang agama yang benar. Ada banyak hal yang tak bisa kuterima tentang agamaku. Itulah yang membuatku jarang ke Gereja. Aku takkan menjelaskan panjang lebar disini soal itu.
Oh ya, perlu kuberitahu. Ditempatku tinggal banyak anak yang putus sekolah. Bukan karena tidak mampu, tapi karena niat untuk belajarnya sudah hilang. Ini semua disebabkan lingkungan. Ditempatku tinggal, anak-anak bermain judi, merokok, bahkan mencuri begitu banyak. Sulit mencari anak usia SMP yang tidak merokok. Hal itu sangat lumrah ditemui. Bahkan sebagian sudah mencoba narkoba.
Aku kembali ke Islam ketika awal masuk SMA. Lebih tepatnya seminggu setelah mulai masuk SMA, dan beberapa hari sebelum masuk ramadhan. Aku sangat ingat hari itu hari Senin tanggal 16 juli 2012. Aku brsyahadat tanpa izin orangtua dan karena itu juga harus bersabar dengan hidup mandiri. Mengapa kukatakan kembali ke Islam? Karena fitrah setiap manusia ketika lahir ke dunia adalah Islam.
Mengapa aku menceritakan ini? Ini sekadar pengantar untuk menjelaskan kenapa aku mau ikut berdakwah. Aku ikut berdakwah walaupun tak banyak yang bisa kulakukan semata-mata itu wujud rasa syukurku pada Allah. Bagaimana tidak kawan? Allah telah muliakan aku dengan Islam. Kalau saja Allah tak memberikan hidayahNya padaku, apalah jadinya diriku? Jika aku sampai sekarang masih kafir, mungkin saja pekerjaanku hanya main domino sepanjang hari, atau judi bola, pasang angka togel. Cari uang untuk sekadar minum tuak. Atau tidur saja sepanjang hari tanpa ada kerjaan. Atau lebih parahnya menjadi pengunjung kilo-kilo (tempat psk dalam bahasa daerahku). Bahkan mungkin saja aku sudah putus sekolah dulu. Tapi Allah begitu baik padaku. Allah selamatkan aku dari itu semua dengan Islam.
Aku hanya seorang tamatan SMA. Tak ada yang istimewa dariku. Aku bukanlah siswa yang menonjol di sekolah. Lulus juga dengan nilai pas-pasan. Tak banyak yang bisa kulakukan, tapi aku berusaha untuk terus bertahan di jalan dakwah ini. Mengapa? Selain karena rasa syukurku, aku sadar ketika aku keluar Allah akan menggantikanku dengan orang yang lebih baik. Allah tidak butuh aku, tapi akulah yang butuh Allah sehingga aku terus bertahan. Walaupun aku masih banyak maksiat pada Allah, jauh dari kata ta’at. Tapi inilah usahaku agar Allah mau melirikku sedikit saja.
Saudaraku, aku yakin kalian orang yang pintar. Memiliki potensi besar untuk memberikan sumbangsih bagi dakwah. Lalu mengapa masih tidak semangat dalam menjalankan dakwah? Padahal jalan ini adalah anugrah yang Allah berikan pada kita umat nabi Muhammad saw yang tidak Allah berikan pada umat lain. Allah berikan kita selendang para nabi, yakni dakwah. Lalu apa yang sudah kita lakukan?
Aduhai, malulah kita pada nabi Musa as. Ia yang lisannya memiliki cacat membuatnya sulit untuk berucap, Allah perintahkan pada kaum yang suka membangkang. Dan sebelum ia diperintah, ia telah melakukan pembunuhan pada salah satu dari mereka. Sehingga nabi Musa as menjadi ‘kriminal’ dan Allah utus pula untuk mereka. Bagaimanalah perasaan nabi Musa as? Sungguh beliau amat tegar. Dalam pengutusan itupun orang-orang Yahudi susah sekali diatur. Lihatlah kalimat mereka pada nabi Musa, “pergilah engkau berperang bersama Tuhanmu, dan kami disini duduk-duduk saja”. Atau kalimat lainnya, “mintakanlah bantuan pada Tuhanmu”. Kalimat mereka selalu menyakiti nabi Musa. Hingga nabi Musa berkata, “hai kaumku, mengapa kamu menyakitiku, sedangkan kamu mengetahui bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu?”. Sungguh banyak pelajaran dari kisah dakwah nabi Musa.
Atau kisah Habib an-Najjar yang allah abadikan di surat Yasin. Ia yang hanya seorang tukang kayu, namun semangat untuk menyeru orang agar menyembah Allah semata. Ia bukan nabi atau rasul, dan kerjanya pun hanya mengajak orang saja. Dan dia teguh dengan pendiriannya. Bahkan akhirnya karena pendirian itu ia harus meregang nyawa. Dan dalam sakaratul mautnya, ia mengucapkan kalimat tauhidnya dihadapan para rasul yang diutus. Dengan itu ia diperintahkan Allah untuk masuk surga. Dan ketika masuk surga pun, ia mengatakan “ alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui. Apa yang menyebabkan Tuhanku mengampuniku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan”. Gurunda Ustadz Salim A. Fillah hafizhahullah mengatakan, ni adalah ciri da’i sejati. Bahkan ketika sudah masuk surganya pun ia masih memikirkan umat. Bagaimana dengan kita yang masih hidup di dunia? Sudahkah kita memikirkan umat?
Saudaraku, pernahkah engkau menonton film Sang Murabbi? Pernah atau tidak, izinkan aku sedikit menceritakan bagian dari film tersebut. Disalah satu adegannya, ketika seorang pemuda mengeluh kepada murabbinya (pembimbing) tentang teman-temannya yang semakin hari semakin malas untuk halaqoh dan menuntut ilmu, serta sibuk ngomong politik. Murabbinya memberi sebuah analogi. Monyet yang diatas pohon ketika diterpa angin kencang, ia mampu bertahan. Namun ketika ia diterpa angin sepoi-sepoi yang lembut ia malah terjatuh. Kira-kira begitulah kita. Ketika dihadapkan pada masalah dan tantangan besar, kita mampu bertahan. Namun, ketika dihadapkan dengan kebebasan, kelapangan, keluangan waktu, serta keleluasaan. Ternyata kita banyak terlena dan jatuh.
Saya akan kutipkan tulisan Sayyid Quthb, karena ini menurutku penting.
Terdapat hikmah Allah dibalik setiap situasi dan kondisi. Yang menata seluruh jagad raya ini dan mengawasi dari awal hingga akhirnya, dan yang mengatur berbagai peristiwa dan keterkaitan alam ini, ialah Dzat yang mengetahui hikmah yang terkandung dalam kegaiban-Nya. Dan hikmah ini sesuai dengan kehendak-Nya dalam rentetan perjalanan yang panjang.
Suatu ketika, bisa jadi tersingkap bagi kita­­­−beberapa abad dan generasi kemudian−hikmah dari suatu peristiwa yang belum diketahui hikmahnya oleh orang-orang yang hidup pada masa itu. Mungkin saja, banyak yang bertanya-tanya mengapa demikian?! Mengapa Allah menghendaki seperti ini? Pertanyaan seperti ini termasuk kebodohan yang harus dihindari seorang mukmin. Kenapa? Seorang mukmin, sejak awal, semsetinya mengerti bahwa di balik setiap ketentuan-Nya ada hikmah. Luasnya jangkauan persepsi seorang mukmin dan keluasan wawasannya tentang periodisasi dan tempat, serta nilai-nilai dan konsideran-konsideran, semestinya bisa menghindarkannya untuk melontarkan pertanyaan semam ini. Cukuplah, dalam hal ini, ia mengikuti takdir demi takdir dengan berserah diri dan tenteram hati.
Al-Qur’an pernah menciptakan jiwa-jiwa yang dipersiapkannya untuk mengemban amanah. Tentunya, jiwa-jiwa ini adalah jiwa yang kokoh, kuat, dan objektif, serta berusaha keras dan bertanggung jawab. Pandangannya tidak tertarik sesuatu yang ada di bumi. Ia tidak mempertimbangkan apa pun kecuali akhirat. Ia tidak mengharapkan apapun kecuali ridha Allah. Jiwa-jiwa ini siap untuk menempuh perjalanan di seluruh bumi dalam penderitaan, kesengsaraan, kemiskinan, dan kepedihan yang penuh pengorbanan, bahkan hingga menemui ajalnya. Mereka tidak mengharapkan imbalan jangka pendek di bumi, meski imbalan ini berupa keberhasilan dakwah, kemenangan Islam dan dominasi kaum Muslimin; bahkan, meski imbalan tersebut berupa kehancuran orang-orang yang zalim dalam siksaan dari Yang Mahaperkasa lagi Mahakuasa sebagaimana Dia pernah menyiksa para pendusta pada masa silam.
Bahkan, jiwa-jiwa itu menyadari bahwa dalam perjalanan tersebut mereka tidak akan memperoleh kompensasi apa pun di bumi, dan mereka harus menanti akhirat sebagai satu-satunya tempat pengadilan antara yang haq  dengan yang batil. Jiwa-jiwa itu menyadari bahwa Allah mengetahui diantara mereka ada yang lurus niatnya dalam baiat dan komitmennya, lalu Allah menganugerahkan kemenangan dan kredibilitas baginya di bumi. Akan tetapi, kemenangan dan kredibilitas ini bukanlah untuk dirinya, melainkan demi tegaknya manhaj Ilahi. Jiwa-jiwa itu adalah pihak yang tepat untuk menjalankan amanah-Nya, sejak mereka belum mendapatkan hasil sedikit pun di dunia dan belum memperkirakan sedikit pum hasil yang akan didapatkannya di bumi. Jadi, mereka benar-benar tertuju kepada Allah dan tidak mengharapkan apa-apa kecuali ridha-Nya.
Semua ayat yang memuat perihal kemenangan dan hasil rampasan perang, serta memuat kekalahan kaum musyrik di bumi, ditangan kaum mukmin, turun di Madinah. Setelah itu, sesudah persoalan ini tidak termasuk dalam program, perhatian, dan fokus kaum mukmin, kemenangan berikutnya datang karena kehendak Allah memutuskan bahwa manhaj-Nya harus memiliki manifestasi nyata dalam kehidupan manusia. Mainfestasi ini ditetapkan dalam bentuk program tertentu program tertentu yang bisa dirasakan manfaatnya oleh generasi-generasi selanjutnya. Hal ini bukanlah wujud imbalan-Nya atas segala penderitaan dan kesengsaraan serta jerih payah dan pengorbanan, melainkan ini semata-mata merupakan penghormatan dari Allah yang dibaliknya terkandung hikmah, dan hikmah inilah yang berusaha kita singkap sekarang.
Isyarat tersebut seudah selayaknya menjadi renungan bagi para da’i di setiap tempat dan setiap generasi. Dengan merenungkannya, para da’i akan bisa mengetahui rambu-rambu petunjuk jalan dengan sangat jelas. Rambu-rambu petunjuk itu akan memantapkan langkah orang-orang yang hendak menempuh perjalanan sampai ujung jalan, tak peduli bagaimana kesudahannya. Biarlah Allah yang menentukan nasib dakwah dan para da’i sesuai kehendak-Nya. Yang penting, ditengah perjalanan yang keras, yang penuh tengkorak dan duri serta keringat dan darah, jangan sampai melenceng dari arah pertolongan dan kemenangan, atau dari batas yang membedakan antara yang haq dengan yang batil di bumi. Hanya saja, jika Allah membiarkan sesuatu menimpa mereka−berkaitan dengan dakwah dan agama-Nya−dalam perjalanan ini, niscaya Dia akan membuat perhitungan sesuai kehendak-Nya.
Tidak adakah imbalan atas segala penderitaan dan pengorbanan? Tidak, bukan begitu! Karena bumi bukanlah tempat imbalan itu. Semua itu hanya untuk memperlihatkan kekuasaan Allah berkaitan dengan urusan dakwah dan manhaj-Nya ditangan sekelompok hamba-Nya yang telah dipilih-Nya untuk meneruskan perjuangan para da’i sesuai dengan kehendak-Nya. Cukuplah penghargaan itu berupa terpilihnya mereka, karena dengan itu kehidupan ini−berikut segala kesulitan dan marabahaya yang menimpa−akan kelihatan kecil dan tak berarti.
Nun jauh disana, ada kenyataan lain yang diisyaratkan oleh salah satu ulasan Al-Qur’an berkenaan dengan kisah Ashhaab al-ukhduud, yakni dalam firman-Nya:

$tBur (#qßJs)tR öNåk÷]ÏB HwÎ) br& (#qãZÏB÷sム«!$$Î/ ̓Íyèø9$# ÏÏJptø:$# ÇÑÈ  

dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, (QS al-Buruj:8)
kenyataan ini sepantasnya direnungkan oleh kaum mukmin pengemban dakwah disetiap tempat dan setiap generasi.
Sesungguhnya perseteruan antara kaum mukmin dan lawan-lawan mereka, pada dasarnya, mutlak merupakan perseteruan keyakinan, bukan yang lain. Sebenarnya, yang diserang oleh lawan adalah iman mereka, dan yang dibenci oleh lawan adalah akidah mereka.
Ini bukanlah perseteruan politik, tidak pula ekonomi ataupun etnis. Seandainya hal-hal ini yang menjadi sebab perseteruan, tentu mudah sekali dihentikan, dan gampang dicarikan solusinya. Akan tetapi, pereteruan ini berpusat permasalahan akidah. Jadi, yang terlibat di dalamnya adalah kekafiran dan keimanan, atau dengan ungkapan lain: jahiliah dan Islam.
Para pembesar kaum musyrik pernah menawarkan kepada Rasulullah saw harta benda, kekuasaan, dan kesenangan sebagai kompensasi atas satu hal, yakni agar beliau menghentikan konflik akidah dan bersikap kompromis dalam masalah hal ini. Seandainya beliau memenuhi permintaan mereka dan menerima apa yang mereka tawarkan, tentu diantara Nabi saw dan kaum musyrik tidak ada konflik sama sekali.
Konflik antara mukmin dan kaum musyrik merupakan permasalahan dan perseteruan akidah. Demikian inilah yang harus diyakini oleh kaum mukmin ketika mereka menghadapi musuh mereka. Karena musuh ini tidaklah menyerang mereka kecuali karena motif akidah; dengan bahasa Al-Qur’an dikatakan: melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji ( QS al-Buruj:8). Selain motif akidah, juga karena kaum mukmin memutlakkan keta’atan dan ketundukan hanya kepad Allah semata.
Musuh-musuh kaum mukmin, dalam perseteruan tersebut, terkadang mengibarkan bendera (sebagai kedok) selain bendera akidah; bisa saja berupa bendera politik, ekonomi, ataupun etnis. Demikian ini untuk mengelabui kaum mukmin akan motif perseteruan yang sebenarnya, dan untuk memadamkan spirit akidah dalam jiwa mereka. Maka dari itu, kaum mukmin tidak boleh tertipu. Mereka harus mengetahui bahwa semua itu adalah kamuflase dengan tujuan terselubung. Pihak yang mengubah bendera perang, tiada lain, hendak menipu kaum mukmin agar tidak menggunakan senjata andalannya untuk meraih kemenangan yang hakiki dalam perang itu. Kemenangan bisa jadi datang dalam bentuk keluarnya ruh dari jasad sebagaimana yang dialami kaum mukmin dalam kisah Ashaab al-Ukhduud, atau bisa juga dalam bentuk supremasi sebagaimana yang diraih generasi pertama umat Islam.
Penulis bisa memberikan sebuah contoh kamuflase yang dilakukan kaum salibis internasional belakanagan ini. Mereka hendak mengelabui kita tentang hakikat konflik dan memutarbalikkan sejarahnya, lalu mereka berdalih bahwa Perang salin−yang terjadi berulang kali itu−bermotifkan penjajahan. Tidak mungkin! Kenapa? Penjajahan yang terjadi kemudian itulah yang sebenarnya menjadi kedok bagi semangat salibis yang belum siap melakukan berbagai ekspedisi sebagaimana ekspedisi pada abad pertengahan. Benturan atas anama akidah pernah terjadi pada kepemimpinan umat islam dari berbagai etnis; sebut saja, misalnya, Shalahuddin al-Kurdi dan Turan Syah al-Mamluki. Sementara itu, etnis-etnis yang telah melupakan kesukuannya, dan hanya memedulikan akidahnya, niscaya mereka meraih kemenangan dibawah panji akidah.

$tBur (#qßJs)tR öNåk÷]ÏB HwÎ) br& (#qãZÏB÷sム«!$$Î/ ̓Íyèø9$# ÏÏJptø:$# ÇÑÈ    

dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji,( QS al-Buruj:8) −(baca selengkapnya dalam buku Ma’alim fit Thariq bagian terakhir; Inilah jalan yang lurus)
Patutlah kita merenungi apa yang telah dituliskan oleh Imam Sayyid Quthb rahimahulah. Bagi kita yang mengaku para da’i. Terakhir, saya kutip salah satu bagian dari film Sang Murabbi, “kalau hanya berdakwah, kita memang bisa. Tapi apakah bisa kita cinta dengan dakwah? Cinta itu butuh pengorbanan, waktu, tenaga, dan harta. Allah telah menggiring kita kepada keimanan, dan dakwah saja suatu merupakan suatu kebahagiaan besar. Apa pantas kita berharap imbalan yang lebih, dari itu? Apalagi bila berupa jabatan, kesenangan, atau kemewahan?

Pekanbaru-Yogyakarta-Karanganyar
Dari Saudaramu Sastrawan Tarigan

Salam Hangat

0 comments:

Post a Comment