Diantara
kita mungkin banyak yang belum mengenal saya. Dan ada sedikit yang mengenal
saya. Dibeberapa tulisan yang pernah saya buat, saya tak pernah menceritakan
siapa diri saya. Jelas kalau urusan ini tidak terlalu penting. Namun untuk kali
ini, izinkanlah saya menceritakan sedikit tentang diri saya.
Perkenalkan,
namaku Sastrawan Tarigan. Aku dilahirkan tanggal 1 Juni 1996. Terlahir dari
keluarga sederhana. Bapakku Karo, dan ibuku Batak Toba. Seluruh keluargaku tak
ada yang muslim. Akupun terlahir sebagai seorang Katolik. Dimasa kecilku, aku
termasuk anak yang ta’at ke gereja. Setidaknya hingga masa-masa aku tamat
sekolah dasar. Ketika aku SMP, tak kupungkiri aku bukanlah seorang Katolik yang
ta’at. Tapi disekolah aku termasuk anak yang unggul dalam pelajaran agama. Bisa
dikatakan aku termasuk murid kesayangan guru agamaku. Dimasa itu aku mengalami
pergolakan batin tentang agama yang benar. Ada banyak hal yang tak bisa
kuterima tentang agamaku. Itulah yang membuatku jarang ke Gereja. Aku takkan
menjelaskan panjang lebar disini soal itu.
Oh
ya, perlu kuberitahu. Ditempatku tinggal banyak anak yang putus sekolah. Bukan
karena tidak mampu, tapi karena niat untuk belajarnya sudah hilang. Ini semua
disebabkan lingkungan. Ditempatku tinggal, anak-anak bermain judi, merokok,
bahkan mencuri begitu banyak. Sulit mencari anak usia SMP yang tidak merokok.
Hal itu sangat lumrah ditemui. Bahkan sebagian sudah mencoba narkoba.
Aku kembali
ke Islam ketika awal masuk SMA. Lebih tepatnya seminggu setelah mulai masuk
SMA, dan beberapa hari sebelum masuk ramadhan. Aku sangat ingat hari itu hari
Senin tanggal 16 juli 2012. Aku brsyahadat tanpa izin orangtua dan karena itu
juga harus bersabar dengan hidup mandiri. Mengapa kukatakan kembali ke Islam?
Karena fitrah setiap manusia ketika lahir ke dunia adalah Islam.
Mengapa
aku menceritakan ini? Ini sekadar pengantar untuk menjelaskan kenapa aku mau
ikut berdakwah. Aku ikut berdakwah walaupun tak banyak yang bisa kulakukan
semata-mata itu wujud rasa syukurku pada Allah. Bagaimana tidak kawan? Allah
telah muliakan aku dengan Islam. Kalau saja Allah tak memberikan hidayahNya
padaku, apalah jadinya diriku? Jika aku sampai sekarang masih kafir, mungkin
saja pekerjaanku hanya main domino sepanjang hari, atau judi bola, pasang angka
togel. Cari uang untuk sekadar minum tuak. Atau tidur saja sepanjang hari tanpa
ada kerjaan. Atau lebih parahnya menjadi pengunjung kilo-kilo (tempat psk dalam
bahasa daerahku). Bahkan mungkin saja aku sudah putus sekolah dulu. Tapi Allah
begitu baik padaku. Allah selamatkan aku dari itu semua dengan Islam.
Aku
hanya seorang tamatan SMA. Tak ada yang istimewa dariku. Aku bukanlah siswa
yang menonjol di sekolah. Lulus juga dengan nilai pas-pasan. Tak banyak yang
bisa kulakukan, tapi aku berusaha untuk terus bertahan di jalan dakwah ini.
Mengapa? Selain karena rasa syukurku, aku sadar ketika aku keluar Allah akan
menggantikanku dengan orang yang lebih baik. Allah tidak butuh aku, tapi akulah
yang butuh Allah sehingga aku terus bertahan. Walaupun aku masih banyak maksiat
pada Allah, jauh dari kata ta’at. Tapi inilah usahaku agar Allah mau melirikku
sedikit saja.
Saudaraku,
aku yakin kalian orang yang pintar. Memiliki potensi besar untuk memberikan
sumbangsih bagi dakwah. Lalu mengapa masih tidak semangat dalam menjalankan
dakwah? Padahal jalan ini adalah anugrah yang Allah berikan pada kita umat nabi
Muhammad saw yang tidak Allah berikan pada umat lain. Allah berikan kita
selendang para nabi, yakni dakwah. Lalu apa yang sudah kita lakukan?
Aduhai,
malulah kita pada nabi Musa as. Ia yang lisannya memiliki cacat membuatnya
sulit untuk berucap, Allah perintahkan pada kaum yang suka membangkang. Dan
sebelum ia diperintah, ia telah melakukan pembunuhan pada salah satu dari
mereka. Sehingga nabi Musa as menjadi ‘kriminal’ dan Allah utus pula untuk
mereka. Bagaimanalah perasaan nabi Musa as? Sungguh beliau amat tegar. Dalam
pengutusan itupun orang-orang Yahudi susah sekali diatur. Lihatlah kalimat
mereka pada nabi Musa, “pergilah engkau berperang bersama Tuhanmu, dan kami
disini duduk-duduk saja”. Atau kalimat lainnya, “mintakanlah bantuan pada
Tuhanmu”. Kalimat mereka selalu menyakiti nabi Musa. Hingga nabi Musa berkata,
“hai kaumku, mengapa kamu menyakitiku, sedangkan kamu mengetahui bahwa
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu?”. Sungguh banyak pelajaran dari
kisah dakwah nabi Musa.
Atau
kisah Habib an-Najjar yang allah abadikan di surat Yasin. Ia yang hanya seorang
tukang kayu, namun semangat untuk menyeru orang agar menyembah Allah semata. Ia
bukan nabi atau rasul, dan kerjanya pun hanya mengajak orang saja. Dan dia
teguh dengan pendiriannya. Bahkan akhirnya karena pendirian itu ia harus
meregang nyawa. Dan dalam sakaratul mautnya, ia mengucapkan kalimat tauhidnya
dihadapan para rasul yang diutus. Dengan itu ia diperintahkan Allah untuk masuk
surga. Dan ketika masuk surga pun, ia mengatakan “ alangkah baiknya sekiranya
kaumku mengetahui. Apa yang menyebabkan Tuhanku mengampuniku dan menjadikan aku
termasuk orang-orang yang dimuliakan”. Gurunda Ustadz Salim A. Fillah hafizhahullah
mengatakan, ni adalah ciri da’i sejati. Bahkan ketika sudah masuk surganya pun
ia masih memikirkan umat. Bagaimana dengan kita yang masih hidup di dunia?
Sudahkah kita memikirkan umat?
Saudaraku,
pernahkah engkau menonton film Sang Murabbi? Pernah atau tidak, izinkan aku
sedikit menceritakan bagian dari film tersebut. Disalah satu adegannya, ketika
seorang pemuda mengeluh kepada murabbinya (pembimbing) tentang teman-temannya
yang semakin hari semakin malas untuk halaqoh dan menuntut ilmu, serta sibuk
ngomong politik. Murabbinya memberi sebuah analogi. Monyet yang diatas pohon
ketika diterpa angin kencang, ia mampu bertahan. Namun ketika ia diterpa angin
sepoi-sepoi yang lembut ia malah terjatuh. Kira-kira begitulah kita. Ketika
dihadapkan pada masalah dan tantangan besar, kita mampu bertahan. Namun, ketika
dihadapkan dengan kebebasan, kelapangan, keluangan waktu, serta keleluasaan.
Ternyata kita banyak terlena dan jatuh.
Saya
akan kutipkan tulisan Sayyid Quthb, karena ini menurutku penting.
Terdapat
hikmah Allah dibalik setiap situasi dan kondisi. Yang menata seluruh jagad raya
ini dan mengawasi dari awal hingga akhirnya, dan yang mengatur berbagai
peristiwa dan keterkaitan alam ini, ialah Dzat yang mengetahui hikmah yang
terkandung dalam kegaiban-Nya. Dan hikmah ini sesuai dengan kehendak-Nya dalam
rentetan perjalanan yang panjang.
Suatu
ketika, bisa jadi tersingkap bagi kita−beberapa abad dan generasi
kemudian−hikmah dari suatu peristiwa yang belum diketahui hikmahnya oleh
orang-orang yang hidup pada masa itu. Mungkin saja, banyak yang bertanya-tanya
mengapa demikian?! Mengapa Allah menghendaki seperti ini? Pertanyaan seperti
ini termasuk kebodohan yang harus dihindari seorang mukmin. Kenapa? Seorang mukmin,
sejak awal, semsetinya mengerti bahwa di balik setiap ketentuan-Nya ada hikmah.
Luasnya jangkauan persepsi seorang mukmin dan keluasan wawasannya tentang
periodisasi dan tempat, serta nilai-nilai dan konsideran-konsideran, semestinya
bisa menghindarkannya untuk melontarkan pertanyaan semam ini. Cukuplah, dalam
hal ini, ia mengikuti takdir demi takdir dengan berserah diri dan tenteram
hati.
Al-Qur’an
pernah menciptakan jiwa-jiwa yang dipersiapkannya untuk mengemban amanah.
Tentunya, jiwa-jiwa ini adalah jiwa yang kokoh, kuat, dan objektif, serta
berusaha keras dan bertanggung jawab. Pandangannya tidak tertarik sesuatu yang
ada di bumi. Ia tidak mempertimbangkan apa pun kecuali akhirat. Ia tidak
mengharapkan apapun kecuali ridha Allah. Jiwa-jiwa ini siap untuk menempuh
perjalanan di seluruh bumi dalam penderitaan, kesengsaraan, kemiskinan, dan
kepedihan yang penuh pengorbanan, bahkan hingga menemui ajalnya. Mereka tidak
mengharapkan imbalan jangka pendek di bumi, meski imbalan ini berupa
keberhasilan dakwah, kemenangan Islam dan dominasi kaum Muslimin; bahkan, meski
imbalan tersebut berupa kehancuran orang-orang yang zalim dalam siksaan dari
Yang Mahaperkasa lagi Mahakuasa sebagaimana Dia pernah menyiksa para pendusta
pada masa silam.
Bahkan,
jiwa-jiwa itu menyadari bahwa dalam perjalanan tersebut mereka tidak akan
memperoleh kompensasi apa pun di bumi, dan mereka harus menanti akhirat sebagai
satu-satunya tempat pengadilan antara yang haq dengan yang batil. Jiwa-jiwa itu menyadari
bahwa Allah mengetahui diantara mereka ada yang lurus niatnya dalam baiat dan
komitmennya, lalu Allah menganugerahkan kemenangan dan kredibilitas baginya di
bumi. Akan tetapi, kemenangan dan kredibilitas ini bukanlah untuk dirinya,
melainkan demi tegaknya manhaj Ilahi. Jiwa-jiwa itu adalah pihak yang tepat
untuk menjalankan amanah-Nya, sejak mereka belum mendapatkan hasil sedikit pun
di dunia dan belum memperkirakan sedikit pum hasil yang akan didapatkannya di
bumi. Jadi, mereka benar-benar tertuju kepada Allah dan tidak mengharapkan
apa-apa kecuali ridha-Nya.
Semua
ayat yang memuat perihal kemenangan dan hasil rampasan perang, serta memuat
kekalahan kaum musyrik di bumi, ditangan kaum mukmin, turun di Madinah. Setelah
itu, sesudah persoalan ini tidak termasuk dalam program, perhatian, dan fokus
kaum mukmin, kemenangan berikutnya datang karena kehendak Allah memutuskan
bahwa manhaj-Nya harus memiliki manifestasi nyata dalam kehidupan manusia.
Mainfestasi ini ditetapkan dalam bentuk program tertentu program tertentu yang
bisa dirasakan manfaatnya oleh generasi-generasi selanjutnya. Hal ini bukanlah
wujud imbalan-Nya atas segala penderitaan dan kesengsaraan serta jerih payah
dan pengorbanan, melainkan ini semata-mata merupakan penghormatan dari Allah
yang dibaliknya terkandung hikmah, dan hikmah inilah yang berusaha kita singkap
sekarang.
Isyarat
tersebut seudah selayaknya menjadi renungan bagi para da’i di setiap tempat dan
setiap generasi. Dengan merenungkannya, para da’i akan bisa mengetahui
rambu-rambu petunjuk jalan dengan sangat jelas. Rambu-rambu petunjuk itu akan
memantapkan langkah orang-orang yang hendak menempuh perjalanan sampai ujung
jalan, tak peduli bagaimana kesudahannya. Biarlah Allah yang menentukan nasib
dakwah dan para da’i sesuai kehendak-Nya. Yang penting, ditengah perjalanan
yang keras, yang penuh tengkorak dan duri serta keringat dan darah, jangan
sampai melenceng dari arah pertolongan dan kemenangan, atau dari batas yang
membedakan antara yang haq dengan yang batil di bumi. Hanya saja, jika
Allah membiarkan sesuatu menimpa mereka−berkaitan dengan dakwah dan
agama-Nya−dalam perjalanan ini, niscaya Dia akan membuat perhitungan sesuai
kehendak-Nya.
Tidak
adakah imbalan atas segala penderitaan dan pengorbanan? Tidak, bukan begitu!
Karena bumi bukanlah tempat imbalan itu. Semua itu hanya untuk memperlihatkan
kekuasaan Allah berkaitan dengan urusan dakwah dan manhaj-Nya ditangan
sekelompok hamba-Nya yang telah dipilih-Nya untuk meneruskan perjuangan para
da’i sesuai dengan kehendak-Nya. Cukuplah penghargaan itu berupa terpilihnya
mereka, karena dengan itu kehidupan ini−berikut segala kesulitan dan marabahaya
yang menimpa−akan kelihatan kecil dan tak berarti.
Nun
jauh disana, ada kenyataan lain yang diisyaratkan oleh salah satu ulasan
Al-Qur’an berkenaan dengan kisah Ashhaab al-ukhduud, yakni dalam firman-Nya:
$tBur (#qßJs)tR öNåk÷]ÏB HwÎ) br& (#qãZÏB÷sã «!$$Î/ ÍÍyèø9$# ÏÏJptø:$# ÇÑÈ
dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena
orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha
Terpuji, (QS al-Buruj:8)
kenyataan ini sepantasnya direnungkan oleh kaum mukmin pengemban
dakwah disetiap tempat dan setiap generasi.
Sesungguhnya perseteruan antara kaum mukmin dan lawan-lawan mereka,
pada dasarnya, mutlak merupakan perseteruan keyakinan, bukan yang lain.
Sebenarnya, yang diserang oleh lawan adalah iman mereka, dan yang dibenci oleh
lawan adalah akidah mereka.
Ini bukanlah perseteruan politik, tidak pula ekonomi ataupun etnis.
Seandainya hal-hal ini yang menjadi sebab perseteruan, tentu mudah sekali
dihentikan, dan gampang dicarikan solusinya. Akan tetapi, pereteruan ini
berpusat permasalahan akidah. Jadi, yang terlibat di dalamnya adalah kekafiran
dan keimanan, atau dengan ungkapan lain: jahiliah dan Islam.
Para pembesar kaum musyrik pernah menawarkan kepada Rasulullah saw
harta benda, kekuasaan, dan kesenangan sebagai kompensasi atas satu hal, yakni
agar beliau menghentikan konflik akidah dan bersikap kompromis dalam masalah
hal ini. Seandainya beliau memenuhi permintaan mereka dan menerima apa yang
mereka tawarkan, tentu diantara Nabi saw dan kaum musyrik tidak ada konflik
sama sekali.
Konflik antara mukmin dan kaum musyrik merupakan permasalahan dan
perseteruan akidah. Demikian inilah yang harus diyakini oleh kaum mukmin ketika
mereka menghadapi musuh mereka. Karena musuh ini tidaklah menyerang mereka
kecuali karena motif akidah; dengan bahasa Al-Qur’an dikatakan: melainkan
karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji
( QS al-Buruj:8). Selain motif akidah, juga karena kaum mukmin memutlakkan
keta’atan dan ketundukan hanya kepad Allah semata.
Musuh-musuh kaum mukmin, dalam perseteruan tersebut, terkadang
mengibarkan bendera (sebagai kedok) selain bendera akidah; bisa saja berupa
bendera politik, ekonomi, ataupun etnis. Demikian ini untuk mengelabui kaum
mukmin akan motif perseteruan yang sebenarnya, dan untuk memadamkan spirit
akidah dalam jiwa mereka. Maka dari itu, kaum mukmin tidak boleh tertipu.
Mereka harus mengetahui bahwa semua itu adalah kamuflase dengan tujuan
terselubung. Pihak yang mengubah bendera perang, tiada lain, hendak menipu kaum
mukmin agar tidak menggunakan senjata andalannya untuk meraih kemenangan yang
hakiki dalam perang itu. Kemenangan bisa jadi datang dalam bentuk keluarnya ruh
dari jasad sebagaimana yang dialami kaum mukmin dalam kisah Ashaab al-Ukhduud,
atau bisa juga dalam bentuk supremasi sebagaimana yang diraih generasi pertama
umat Islam.
Penulis bisa memberikan sebuah contoh kamuflase yang dilakukan kaum
salibis internasional belakanagan ini. Mereka hendak mengelabui kita tentang
hakikat konflik dan memutarbalikkan sejarahnya, lalu mereka berdalih bahwa
Perang salin−yang terjadi berulang kali itu−bermotifkan penjajahan. Tidak
mungkin! Kenapa? Penjajahan yang terjadi kemudian itulah yang sebenarnya
menjadi kedok bagi semangat salibis yang belum siap melakukan berbagai
ekspedisi sebagaimana ekspedisi pada abad pertengahan. Benturan atas anama
akidah pernah terjadi pada kepemimpinan umat islam dari berbagai etnis; sebut saja,
misalnya, Shalahuddin al-Kurdi dan Turan Syah al-Mamluki. Sementara itu,
etnis-etnis yang telah melupakan kesukuannya, dan hanya memedulikan akidahnya,
niscaya mereka meraih kemenangan dibawah panji akidah.
$tBur (#qßJs)tR öNåk÷]ÏB HwÎ) br& (#qãZÏB÷sã «!$$Î/ ÍÍyèø9$# ÏÏJptø:$# ÇÑÈ
dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena
orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha
Terpuji,( QS al-Buruj:8) −(baca selengkapnya dalam buku Ma’alim fit Thariq bagian
terakhir; Inilah jalan yang lurus)
Patutlah kita merenungi apa yang telah dituliskan oleh Imam Sayyid
Quthb rahimahulah. Bagi kita yang mengaku para da’i. Terakhir, saya kutip salah
satu bagian dari film Sang Murabbi, “kalau hanya berdakwah, kita memang bisa.
Tapi apakah bisa kita cinta dengan dakwah? Cinta itu butuh pengorbanan, waktu,
tenaga, dan harta. Allah telah menggiring kita kepada keimanan, dan dakwah saja
suatu merupakan suatu kebahagiaan besar. Apa pantas kita berharap imbalan yang
lebih, dari itu? Apalagi bila berupa jabatan, kesenangan, atau kemewahan?
Pekanbaru-Yogyakarta-Karanganyar
Dari Saudaramu Sastrawan Tarigan
Salam Hangat
0 comments:
Post a Comment