Oleh: Sastrawan Tarigan (Da'i FSRMM dan Kristolog Muda)
Pendidikan di Indonesia Saat Ini
Belakangan ini pemerintah disibukkan dengan program pendidikan berkarakter. Semua pihak mulai dari orang tua, guru, sampai pemerintah ingin agar para pelajar mampu memiliki kepribadian berkarakter dan berakhlak mulia. Namun sejauh ini belum ada tanda-tanda impian tersebut menjadi kenyataan, malah sebaliknya, moral pelajar semakin ambruk dan tak punya jati diri.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal sudah berkali-kali kurikulum pendidikan kita diganti. Namun kenyataannya pemerintah masih sibuk dengan pendidikan berkarakter ala dia yang telah terbukti gagal dan tak mau mengakui bahwa selama ini yang menjadi pokok permasalahannya adalah sistem pendidikan Indonesia yang telah diliberalisasi, lalu terbentuklah kurikulum yang kaku serta tenaga pendidik yang tidak kompeten, sehingga terbentuk pendidikan yang begitu terpusat di sekolah dan terjadilah pendikotomian antara ilmu pengetahuan/sains dengan agama.
Prof. Daniel. M. Rosyid, anggota Dewan Penasihat pendidikan Jawa Timur dalam artikelnya yang diterbitkan Jawa Pos (Jawa Pos Senin, 8 Desember 2014) yang berjudul ‘Kita Tidak Butuh Sekolah’, apalagi kurikulum menekankan bahwa kondisi pendidikan kita sudah begitu sekolahisme, artinya masyarakat telah sampai pada candu terhadap sekolah. Padahal sekolah yang penyampaian materinya didominasi di dalam ruangan (indoor) adalah hasil produk abad 17 masa pencerahan Eropa yang jelas-jelas sudah begitu usang. Lebih lanjut beliau mengatakan, bahwa sejatinya hanya anak-anak pemalas dan berkebutuhan khususlah yang membutuhkan kurikulum yang disusun oleh para teknokrat ahli itu. Akhirnya jadilah kurikulum yang telah disusun oleh teknokrat disajikan oleh guru yang tidak kompeten. Sehingga membuat siswa yang sebenarnya cerdas menjadi terhambat potensinya. Sejatinya, siswa yang cerdas tidak membutuhkan kurikulum yang terpusat dan kaku. Selain itu, pendidikan karakter seharusnya tidak hanya diperoleh di sekolah, melainkan juga butuh praktik di luar sekolah (outdoor). Beliau menekankan bahwa pendidikan pertama dan utama sesungguhnya diperoleh dari keluarga sehingga pendidikan yang terpusat di sekolah sudah saatnya dikurangi secara signifikan
.
.
Namun kenyataannya, pemerintah masih keukeuh dengan konsep “pendidikan berkarakternya’ yang gagal itu. Tampaknya pemerintah tak memahami atau tak mau paham bahwa sejatinya pendidikan itu bukan sekedar mendapatkan ilmu dan mampu menguasai satu bidang tertentu saja. Namun juga mampu mencetak karakter-karakter unggul yang beradab dan tidak nyeleneh dalam hal keilmuan.
Islam Menjunjung Tinggi Adab
Keilmuan dalam Islam sangat menjunjung tinggi adab. Bahkan terdapat kaidah dalam keilmuan Islam “al-‘adabu fawaul ‘ilmi”, adab itu lebih tinggi daripada ilmu. Maka dalam tradisi keilmuan Islam selalu dituntut agar para penuntut ilmu terlebih dahulu belajar adab. Agar ia mengetahui adab kepada Tuhannya, adab kepada utusan Tuhannya, adab kepada gurunya, serta adab kepada ilmu itu sendiri. Karena hakikatnya mencetak manusia yang beradab adalah salah satu tujuan utama pendidikan itu sendiri.
Maka sudah jelaslah, jika seorang yang memiliki ilmu namun tanpa adab maka ia akan menjadi orang yang angkuh dan ingkar. Sehingga tak heran ketika kita melihat tokoh yang memiliki ilmu tapi suka mencela, mencaci, dan menghujat serta nyeleneh. Yang dihujatnya bukan hanya manusia saja, namun Tuhan dan kitab suci pun menjadi bahan hujatannya. Karena ia hanya berilmu, namun tak memilik adab. Jadi bisa dikatakan, siapa yang memiliki ilmu namun tak memiliki adab, maka sia-sialah seluruh ilmu yang ia miliki.
Islam Tidak Mendikotomikan Ilmu dengan Agama
Islam tidak mengenal pendidikan yang parsial( juz’iy), namun sebaliknya, konsep pendidikan Islam adalah integral (kully). Oleh karena itu Islam tidak mengenal pendidikan yang mendikotomikan antara ilmu pengetahuan dan agama. Sistem pendidikan Islam yang terintegrasi bertujuan mewujudkan individu yang kenal dengan dirinya, kenal Tuhannya, kenal utusan Tuhannya, mengerti akan kewajibannya hidup di dunia, sehingga ia paham bahwa seluruh aktivitasnya di muka bumi ini memiliki tujuan utama yaitu beribadah kepada Allah ( Q.S. adz-Dzariyat: 56). Bukankah aktifitas pendidikan di universitas dikenal dengan istilah “kulliyah” bukan “juz’iyyah. Hal ini mengindikasikan bahwa seharusnya intelektual-intelektual muda dapat menjadi manusia yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dengan tujuan membuatnya semakin ta’at kepada Allah, bukan malah semakin menjauhkan dirinya dari Allah, bahkan malah menjadi penghujat, pencaci, dan penghina Allah, kitab-kitabNya, dan utusan-utusanNya. Karena pendikotomian ini malah mendistorsikan tujuan pendidikan itu sendiri.
Oleh karena itu, pemerintah seharusnya tak terpaku dengan pendidikan yang menghasilkan individu yang hanya mampu menguasai satu bidang saja, tapi juga dalam bidang-bidang lainnya, misalnya seorang dokter yang juga paham ilmu fiqih, seorang pakar matematika yang paham ilmu tafsir al-Qur’an dan lain-lain yang kesemuanya itu telah dicontohkan para ulama-ulama besar terdahulu seperti al-Khwarizmi, Ibnu Sina, al-Kindi, ar-Razi dan sebagainya. Bahkan, menurut Jacques Maritain, pemikir Katolik asal Perancis menyatakan bahwa pendidikan yang terlalu cenderung ke arah spesialisasi sebenarnya melatih manusia untuk menjadi binatang, sebab binatang memang mempunyai kemahiran sangat khusus dalam suatu bidang tertentu. Lebih lanjut Prof. Wan Mohd Nor mengatakan Islam tidak mengenal sifat “spesialisasi buta” seperti ini. ( dikutip dari Buku Filsafat Ilmu Perspektif Islam dan Barat, Dr. Adian Husaini et. al, Gema Insani , 2013) Layaknya ilmuwan-ilmuwan islam masa lalu dikenal luas memiliki penguasaan diberbagai bidang keilmuan (polymath).
0 comments:
Post a Comment