Monday, May 11, 2015

Guru, Pendidik atau Profesi


Ungkapan pahlawan tanpa tanda jasa selalu disematkan kepada guru. Pengagungan guru sebagai sosok mulia yang berbakti pada nusa dan bangsa. Memberi banyak waktu untuk anak didiknya daripada kehidupan pribadinya. Tokoh yang  melahirkan orang-orang besar di dunia ini
Guru selalu diagungkan dalam karya sastra. Baik itu puisi, novel ataupun pementasan drama. Namun,benarkah fakta guru sekarang sejalan dengan kata agung yang disematkan pada mereka?
Nyatanya, guru sekarang tidaklah semulia seperti dalam syair maupun puisi, ataupun dalam himnenya. Guru hanya sebagai profesi yang dianggap memiliki masa depan mendukung. Karena sekarang betapa guru diperhatikan kesejahteraannya oleh pemerintah. Jauh lebih baik dari masa dahulu.
Namun, begitu mirisnya melihat skill yang dimiliki tenaga pengajar sekarang. Mulai dari metode pembelajaran sampai masalah guru mengajar dimata pelajaran yang bukan jurusannya. dan ini terkesan sangat dipaksakan. Sekalipun dengan dalih kekurangan guru. Faktanya, banyak guru mata pelajaran melebihi yang dibutuhkan dalam satu sekolah. Kenapa tidak dimutasi saja?

Ini baru dari masalah mendasar. Yang seharusnya sudah mampu terpecahkan oleh instansi terkait. Jika belum juga mampu diselesaikan. Berarti proses recruitment awalnya saja sudah bermasalah. Hal ini tentunya patut dipertanyakan kenapa bisa terjadi? Padahal Allah telah memberikan standar bagi seorang guru dalam Al-Qur’an yakni dalam surat ‘Ali-Imran: 7

وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى ٱلْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلٌّۭ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ

Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari isi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

Dalam tafsir, ayat diatas bermakna bahwa setiap orang semakin mendalami ilmu, maka ia akan semakin sadar betapa kemampuan ilmu manusia itu terbatas, dan segala ilmu bersumber dari Allah swt. Ia akan kembali pada fitrahnya yang jujur.  Kecuali orang-orang yang suka membual, ia akan menganggap dirinya telah menguasai banyak ilmu. Padahal tidaklah ia memiliki ilmu kecuali sedikit saja.

Bukti yang paling shahih adalah bagaimana seorang guru yang suka berkata kasar, merokok dilingkungan sekolah, berbicara tanpa etika, perlakuan tidak senonoh pengajar terhadap siswa jika tidak mau dikatakan biadab yang semakin marak terjadi, ‘fatwa’ guru agama yang mengatakan pacaran itu tidak dilarang agama, pembiaran kemaksiatan oleh guru di sekolah. Padahal guru memiliki kuasa untuk mencegah kemungkaran ini. Dalam sebuah kisah Suatu ketika, Imam Syafi’i berkata: “saya mengadu kepada Waqi’ tentang buruknya hafalanku, maka dia mengajarkanku (fa arsyadani) agar meninggalkan maksiat. Dan ia mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya (nur), dan cahaya Allah SWT tidak diberikan kepada pelaku maksiat”.

Yang semakin memperparah semua ini adalah guru sekarang kebanyakan tidaklah ikhlas dalam melaksanakan tugasnya. Ia hanya memenuhi tanggung jawabnya mengajar. Tidak terlalu peduli apakah siswa benar-benar paham dengan apa yang dipelajarinya, atau hanya mendapat doktrin dari  pelajaran yang dipelajarinya. Nyatanya, siswa lebih banyak mendapat doktrin daripada memahami konsep pelajaran yang ia pelajari. Sistem sertifikasi guru hanya untuk peningkatan pemasukan, bukan untuk peningkatan kualitas guru. Bahkan setiap guru yang sudah sertifikasi, terpaksa harus mengajar dua puluh empat jam dalam seminggu terkesan hanya tancap gas saja. Tanpa mementingkan sudah paham atau tidak siswanya.

Semua hal diatas semakin menjadi buruk dengan kurikulum yang liberal, guru liberal. Sehingga siswalah yang terkena imbas semua ini. Begitu menyedihkannyakah tenaga didik negeri ini? Faktanya begitu. Semua ini akan terus begitu, bila sistem pendidikan ini tidak dirubah! Bagaimana jadinya anak bangsa ini, jika mereka harus diracuni dengan paham liberal sedari dini, tanpa ia mengerti apa itu liberal. Wajar saja sekarang akhlak remaja sekarang sudah runtuh ke titik nadir terendah. Mereka sudah tidak memiliki suri tauladan lagi dari guru-gurunya.

Sudah selayaknya kita mencontoh sistem pendidikan Rasulullah kepada para shahabat beliau. Yang tidak hanya menitik beratkan kepada pengetahuan ilmu agama saja. Namun, beliau memberi porsi yang sebanding antara ilmu akhirat dan dunia serta penerapannya yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah. Pendekatan beliau kepada shahabatnya begitu luar biasa. Mereka bisa begitu dekat. Namun, hal ini tidaklah menghilangkan kewibawaan beliau dihadapan shahabatnya. Begitu kontradiktif dengan guru sekarang, yang kedekatannya dengan siswa begitu semu. Ditambah lagi guru mengharap balas jasa dari siswanya. Jadi pepatah diawal tulisan ini seakan menjadi  rancu.

Kita bisa belajar dari pendidikan Muhammad Al-Fatih seorang penakluk Kota Konstatinopel yang fenomenal. Yang dikatakan Rasulullah sebagai seorang panglima terbaik.  Gurunya bernama Syaikh Ahmad Al-Kurani dan Syaikh Aaq Syamsuddin. Syaikh Ahmad Al-Qur’ani adalah seorang yang berilmu lagi faqih dalam banyak cabang ilmu. Sedangkan Syaikh Aaq Syamssuddin adalah seorang hafidz Qur’an sejak usia tujuh tahun, serta sangat ahli dalam bidang biologi, kedokteran,astronomi, dan pengobatan herbal. Beliau jugalah yang meyakinkan Sulthan Muhammad Al-Fatih bahwa yang dimaksud dalam bisyarah nabi tentang pemimpin yang menaklukkan Konstatinopel adalah pemimpin terbaik itu adalah dirinya. Kita dapat membayangkan betapa luar biasa pendidik-pendidik dalam Islam. Bukan seperti pendidik sekarang yang menekankan pada keduniawian! Serta memisahkan urusan dunia dan akhirat.

Sebagai penutup, saya akan mengutip  kalimat untuk renungan guru. “guru yang baik adalah guru yang belajar banyak dari siswanya”. “siswa dan guru sama-sama belajar, maka saling mengutip hikmahlah darinya”. Saya yakin semua kalangan juga ingin guru kembali pada fungsi awalnya sebagai pendidik. Jayalah guru Indonesia kedepannnya! Jauhkan paham liberalisme dari siswamu!



0 comments:

Post a Comment