Ungkapan pahlawan tanpa tanda jasa selalu disematkan kepada guru.
Pengagungan guru sebagai sosok mulia yang berbakti pada nusa dan bangsa.
Memberi banyak waktu untuk anak didiknya daripada kehidupan pribadinya. Tokoh
yang melahirkan orang-orang besar di
dunia ini
Guru selalu diagungkan dalam karya sastra. Baik itu puisi, novel
ataupun pementasan drama. Namun,benarkah fakta guru sekarang sejalan dengan
kata agung yang disematkan pada mereka?
Nyatanya, guru sekarang tidaklah semulia seperti dalam syair maupun
puisi, ataupun dalam himnenya. Guru hanya sebagai profesi yang dianggap
memiliki masa depan mendukung. Karena sekarang betapa guru diperhatikan
kesejahteraannya oleh pemerintah. Jauh lebih baik dari masa dahulu.
Namun,
begitu mirisnya melihat skill yang dimiliki tenaga pengajar sekarang.
Mulai dari metode pembelajaran sampai masalah guru mengajar dimata pelajaran
yang bukan jurusannya. dan ini terkesan sangat dipaksakan. Sekalipun dengan
dalih kekurangan guru. Faktanya, banyak guru mata pelajaran melebihi yang
dibutuhkan dalam satu sekolah. Kenapa tidak dimutasi saja?
Ini baru dari masalah mendasar. Yang seharusnya sudah mampu
terpecahkan oleh instansi terkait. Jika belum juga mampu diselesaikan. Berarti
proses recruitment awalnya saja sudah
bermasalah. Hal ini tentunya patut dipertanyakan kenapa bisa terjadi? Padahal
Allah telah memberikan standar bagi seorang guru dalam Al-Qur’an yakni dalam
surat ‘Ali-Imran: 7
وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى ٱلْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلٌّۭ مِّنْ عِندِ
رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ
Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman
kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari isi Tuhan kami." Dan
tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang
berakal.
Dalam tafsir, ayat diatas bermakna bahwa setiap orang
semakin mendalami ilmu, maka ia akan semakin sadar betapa kemampuan ilmu
manusia itu terbatas, dan segala ilmu bersumber dari Allah swt. Ia akan kembali
pada fitrahnya yang jujur. Kecuali
orang-orang yang suka membual, ia akan menganggap dirinya telah menguasai
banyak ilmu. Padahal tidaklah ia memiliki ilmu kecuali sedikit saja.
Bukti yang paling shahih adalah bagaimana seorang guru yang suka
berkata kasar, merokok dilingkungan sekolah, berbicara tanpa etika, perlakuan
tidak senonoh pengajar terhadap siswa jika tidak mau dikatakan biadab yang
semakin marak terjadi, ‘fatwa’ guru agama yang mengatakan pacaran itu tidak
dilarang agama, pembiaran kemaksiatan oleh guru di sekolah. Padahal guru
memiliki kuasa untuk mencegah kemungkaran ini. Dalam sebuah kisah Suatu ketika, Imam Syafi’i berkata: “saya mengadu kepada Waqi’
tentang buruknya hafalanku, maka dia mengajarkanku (fa arsyadani) agar meninggalkan
maksiat. Dan ia mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya (nur),
dan cahaya Allah SWT tidak diberikan kepada pelaku maksiat”.
Yang semakin memperparah semua ini adalah guru sekarang
kebanyakan tidaklah ikhlas dalam melaksanakan tugasnya. Ia hanya memenuhi
tanggung jawabnya mengajar. Tidak terlalu peduli apakah siswa benar-benar paham
dengan apa yang dipelajarinya, atau hanya mendapat doktrin dari pelajaran yang dipelajarinya. Nyatanya, siswa
lebih banyak mendapat doktrin daripada memahami konsep pelajaran yang ia
pelajari. Sistem sertifikasi guru hanya untuk peningkatan pemasukan, bukan
untuk peningkatan kualitas guru. Bahkan setiap guru yang sudah sertifikasi,
terpaksa harus mengajar dua puluh empat jam dalam seminggu terkesan hanya
tancap gas saja. Tanpa mementingkan sudah paham atau tidak siswanya.
Semua hal diatas semakin menjadi buruk dengan kurikulum
yang liberal, guru liberal. Sehingga siswalah yang terkena imbas semua ini.
Begitu menyedihkannyakah tenaga didik negeri ini? Faktanya begitu. Semua ini
akan terus begitu, bila sistem pendidikan ini tidak dirubah! Bagaimana jadinya
anak bangsa ini, jika mereka harus diracuni dengan paham liberal sedari dini,
tanpa ia mengerti apa itu liberal. Wajar saja sekarang akhlak remaja sekarang
sudah runtuh ke titik nadir terendah. Mereka sudah tidak memiliki suri tauladan
lagi dari guru-gurunya.
Sudah selayaknya kita mencontoh sistem pendidikan
Rasulullah kepada para shahabat beliau. Yang tidak hanya menitik beratkan kepada
pengetahuan ilmu agama saja. Namun, beliau memberi porsi yang sebanding antara
ilmu akhirat dan dunia serta penerapannya yang dicontohkan langsung oleh
Rasulullah. Pendekatan beliau kepada shahabatnya begitu luar biasa. Mereka bisa
begitu dekat. Namun, hal ini tidaklah menghilangkan kewibawaan beliau dihadapan
shahabatnya. Begitu kontradiktif dengan guru sekarang, yang kedekatannya dengan
siswa begitu semu. Ditambah lagi guru mengharap balas jasa dari siswanya. Jadi
pepatah diawal tulisan ini seakan menjadi
rancu.
Kita bisa belajar dari pendidikan Muhammad Al-Fatih seorang
penakluk Kota Konstatinopel yang fenomenal. Yang dikatakan Rasulullah sebagai
seorang panglima terbaik. Gurunya
bernama Syaikh Ahmad Al-Kurani dan Syaikh Aaq Syamsuddin. Syaikh Ahmad Al-Qur’ani
adalah seorang yang berilmu lagi faqih dalam banyak cabang ilmu. Sedangkan
Syaikh Aaq Syamssuddin adalah seorang hafidz Qur’an sejak usia tujuh tahun,
serta sangat ahli dalam bidang biologi, kedokteran,astronomi, dan pengobatan
herbal. Beliau jugalah yang meyakinkan Sulthan Muhammad Al-Fatih bahwa yang
dimaksud dalam bisyarah nabi tentang pemimpin yang menaklukkan Konstatinopel
adalah pemimpin terbaik itu adalah dirinya. Kita dapat membayangkan betapa luar
biasa pendidik-pendidik dalam Islam. Bukan seperti pendidik sekarang yang
menekankan pada keduniawian! Serta memisahkan urusan dunia dan akhirat.
Sebagai penutup, saya akan mengutip kalimat untuk renungan guru. “guru yang baik
adalah guru yang belajar banyak dari siswanya”. “siswa dan guru sama-sama
belajar, maka saling mengutip hikmahlah darinya”. Saya yakin semua kalangan
juga ingin guru kembali pada fungsi awalnya sebagai pendidik. Jayalah guru
Indonesia kedepannnya! Jauhkan paham liberalisme dari siswamu!
0 comments:
Post a Comment