Thursday, December 3, 2015

Safar


            Safar (perjalanan) adalah hal yang sering kita lakukan. Apakah sekadar untuk rekreasi, nostalgia, atau kepentingan lainnya.  Mungkin sudah banyak tempat kita kunjungi. Banyak hal yang telah kita lihat. Apalagi buat orang-orang yang hobi travelling sepertinya belum afdhal kalau belum mengunjungi berbagai tempat destinasi wisata.
Namun dari sebegitu banyaknya perjalanan yang kita lakukan, berapa pelajaran yang telah kita petik? Apa perubahan yang telah terjadi? Adakah semakin baik dan ia menjadi keinsyafan diri? Atau malah perjalanan itu semakin membuat kita lupa akan Rabb kita? Terlena dengan dunia dan sibuk hanya ingin memuaskan diri.
Kawan, sungguh dalam perjalanan kita kemanapun itu. Layaknya perjalanan itu banyak hal yang bisa petik hikmahnya. Dijadikan pembelajaran untuk perbaikan diri.  Ia menjadi sebab matahati kita terbuka. Semakin peka akan sekeliling. Memahami makna sebuah ukhuwah. Menyadari arti seorang saudara. Memahamkan diri bahwa perjuangan kita belum ada. Kita belum berbuat apa-apa. Semakin sadar bahwa ilmu begitu sedikit. Betapa banyak hal yang harus dikerjakan.
Allah perintahkan kita memperhatikan apa-apa yang ada di langit dan di bumi. Allah perintahkan kita melihat tanda-tanda alam. Allah perintahkan kitaa untuk berjalan di muka bumi. Bukankah semua itu agar kita mengambil pelajaran? Dan pelajaran itu hanya bisa diambil oleh orang-orang yang beriman. Perjalanan itu juga akan menjadi pembeda orang yang beriman dengan orang yang mendustakan ayat-ayat Allah. Bukankah dengan perjalanan ini akhirnya kita mengerti, menyadari, dan menambah keimanan kita. dan akhirnya dengan itu, semakin yakinlah diri bahwa tiada apa-apa yang diciptakan Allah itu kecuali ia memiliki manfaat. Sehingga timbullah sikap dalam diri semakin takut akan adzab neraka yang pedih.
Kawan, izinkan aku menceritakan kisah safar ini. Pada perjalanan ini, Allah takdirkan untuk bertemu dengan manusia luar biasa. Ustadz Asep Rahmat namanya. Seorang pendidik dan pengajar. Murabbi bagi para penghafal Qur’an, saya bertemu beliau di Bandung. Beliau memberikan tempat tinggal selama saya di Bandung.  Alhamdulillah, saya berkesempatan mendengarkan majelis tafsir Qur’an dan nasihat-nasihat dari beliau.  Satu hal yang sangat berkesan adalah sharing santri dengan beliau sepekan sekali tentang berbagai masalah dan mencari solusi. Dimalam itu beliau bercerita tentang seorang mahasiswa tahun pertama di ITB, yang menikah muda dan istrinya juga adalah seorang mahasiswi ITB. Usia mereka 18 dan 19 tahun.  Yang menjadi menarik dia menikah muda adalah karena orangtuanya dulu juga menikah muda. Dan ia mempelajari sahabat-sahabat nabi juga menikah muda. Dan hasilnya kini keduanya sudah bisa mandiri sambil kuliah. Tak ada lagi menyusahkan orangtua.
Lalu perjalanan saya berlanjut ke Solo. Disini saya bertemu dengan para penghapal Qur’an. Disini saya bertemu dengan orang-orang berilmu, namun usia mereka masih muda. Ternyata banyak orang-orang berilmu, namun ia tak banyak dikenal orang. Mereka hanya ingin menghasilkan manusia-manusia penerus risalah dakwah. Mengabdi penuh keikhlasan tanpa mengharapkan balasan di dunia. Aku juga bertemu seorang yang secara fisik memiliki kekurangan. Namun Allah naikkan derajatnya dengan Qur’an.
Namun, tak lengkap rasanya berbicara Solo kalau tak menceritakan keramahan orangnya. Ya, Solo memang dikenal dengan masyarakat yang halus. Bahkan dikatakan kepadaku bahwa bahasa terhalus Bahasa Jawa adalah Bahasa Jawa Solo. Disini aku mulai belajar menata kata-kata dan merendahkan cara bicaraku. Maklumlah kawan, aku anak Medan. Aku coba untuk memperlembut lisan dan memperbaiki akhlak. Walaupun hasilnya masih jauh dari kata baik. Tapi aku coba saja. Lagian, bukankah perjalanan ini kulakukan juga untuk memperbaiki akhlakku. Aku selalu berpikir, apa guna banyak menimba ilmu, jika lisan dan akhlak masih saja buruk.
Selepas itu Allah perkenankan aku menginjakkan kaki di Jakarta. Kota dengan sejuta cerita. Awal saja aku sampai sudah disuguhi dengan pemandangan berbeda. Di waktu dinihari kota ini sudah sibuk sekali. Di perjalanan menuju tujuanku, aku melihat sepanjang jalan wanita-wanita penjaja seks sibuk dengan pekerjaannya. Ah, lemahnya diri yang tak mampu menghentikan kemaksiatan.
Sampailah aku ke tempat tujuan. Tempatku ini ternyata tempat menampung anak-anak yatim dan dhuafa. Mereka dididik untuk menghapal Qur’an dan dilatih untuk selalu bangun malam. Usia mereka rentang 7-13 tahun. Masih muda bukan? Tapi seperti yang pernah kukatakan mereka adalah manusia istimewa.
Aku berkesempatan berkenalan dengan semua anak-anak disini. Mereka mengenalkan namanya. Lalu kakak pengasuhnya menjelaskan asal mereka. Berasal dari berbagai latar belakang. Memiliki keunikan masing-masing. Senang rasanya bisa bersama mereka. Mengambil pelajaran dari mereka.
Kawan, mereka ini memiliki semangat belajar yang tinggi. Ketika aku masuk mengajari mereka bahasa inggris.  Antusiasnya sangat tinggi. Mereka berlomba bertanya. Setelah itu mereka memintaku untuk bercerita. Aku bercerita dan semua semangat menyimak, bertanya, dan terkadang menyeletuk. Mirisnya, ketika berbicara tentang shahabat nabi. Mereka lebih mengetahui detail tentang shahabat nabi. Malu diriku kawan. Diakhir pelajaran kutanyakan apa cita-cita mereka. Semuanya serentak menjawab. “ mau jadi mujahid, mati syahid. Mau bebaskan masjid al-Aqsha”. Mau jadi penghapal Qur’an kasih mahkota untuk orangtua. Hati ini malu sekali kawan, miris bukan? Aduhai, sudahkah kita bercita-cita semulia itu? Kawan, mungkin itu yang bisa ia lakukan. Karena sebagian dari mereka tak pernah bertemu orangtuanya sejak lahir ke dunia. Maka untuk menunjukkan betapa sayang dan rindunya ia pada orangtuanya. Ia ingin mempersembahkan mahkota kemuliaan bagi orangtuanya. Hai adikku, sungguh mulianya citamu. Terimakasih telah mengajarkan kakakmu ini. Hal penting yang kupelajari disini, bahwa betapa pentingnya bercerita kepada anak. Hanya tinggal kisah apa yang disampaikan, siapa yang menyampaikan, dan bagaimana kisah itu dikemas? Kelak, hal itu akan sangat berpengaruh bagi si anak.
Di perjalanan berikutnya berkesempatan mengunjungi dan membersamai orang-orang berilmu. Mereguk manisnya majelis bersama mereka. Merasakan nikmatnya taman-taman surga  yang ada di dunia. Sungguh suatu keberkahan bisa duduk dekat dengan mereka dan memperhatikan akhlaknya yang menawan.
Di Malang saya berkesempatan menimba ilmu dari Ustadz Abdullah Hadhrami hafizhahullah. Ilmu beliau yang dalam, akhlak beliau yang indah, serta sikap beliau yang ilmiah menjadi pelajaran yang sangat penting bagiku. Sungguh, ingin duduk dan berbincang berlama-lama bersama beliau. Pelajaran penting dari beliau adalah jangan hanya mendengarkan kata orang lalu ikut-ikutan sebelum meneliti dan memastikannya.
Selain itu, akupun sempat mengambil ilmu dari Ustadz Muhaimin Iqbal. Dari beliau aku semakin sadar, betapa banyaknya orang yang hapal Qur’an dan mengerti artinya. Namun ia hanya mengambil bagian kecilnya saja, sedangkan bagian besar ditinggal. Betapa kita belum sadar akan potensi umat ini dengan AlQur’an yang dimilikinya. Membuat aku semakin berpikir apa yang harus kulakukan. Semakin jelas makna-makna Qur’an dari beliau. Itu semua hasil tadabbur beliau selama ini. Semoga Allah selalu melindungi mereka orang-orang istiqomah, menjadikan hidupnya dengan penuh keberkahan, dan membuat usaha mereka selalu diridhoi Allah tabaraka ta’ala. Serta semoga kita bisa mengikuti langkah mereka.
Selain itu, aku semakin menyadari betapa pentingnya diri ini untuk terus memperbaiki akhlak. Membuat keinsyafan diri untuk terus mencari keberkahan dalam segala aktivitas. Seorang ustadz mewasiatkan kepadaku, carilah tempat yang membuat diri kita semakin baik. Sedangkan ilmu dan dunia bisa dicari setelahnya. Seperti pesan Ustadz Syihabuddin kepada santri-santrinya. Bukan perkara ilmu apa yang telah kita dapat, namun seberapa berkah ilmu yang kita dapat. Agar ilmu itu kelak bisa kita berikan kepada yang lain. Mungkin sangat sedikit hal bisa kupetik hikmah dari  perjalanan ini. Namun akupun masih belajar. Satu hal kawan, satu ilmu yang kita dapat dari orang shalih dimanapun ia berada. Itu lebih baik dari dunia dan seisinya. Maka, jika perjalanan yang dilakukan itu dalam rangka mengunjungi orang-orang berilmu dan shalih. Berapapun biaya yang habis itu tak masalah.
Diakhir kawan, ternyata perjalanan ini membuatku semakin paham arti seorang saudara. Apa itu makna ukhuwah. Kerinduan untuk bertemu dengan saudara-saudara. Betapa pentingnya arti pertemuan dengan saudara. Begitu perlunya untuk selalu berjama’ah. Terkadang  keindahan ukhuwah itu dapat kita rasakan setelah berjauhan dengan saudara. Membuat diri selalu menantikan pertemuan kembali, dan perjuangan bersama-sama dalam satu ikatan. Ah, aku akan terus merindukan saudara-saudaraku, apalagi masa-maa dulu kita semua. Semoga akan kembali seperti dulu. Aku merindukan ukhuwah itu.

            *ingin ditulis di Solo, namun baru berhasil selesai di Pekanbaru.
Salam Hangat Dari Saudaramu
Sastrawan Tarigan


0 comments:

Post a Comment