Safar (perjalanan) adalah hal yang sering kita lakukan. Apakah
sekadar untuk rekreasi, nostalgia, atau kepentingan lainnya. Mungkin sudah banyak tempat kita kunjungi.
Banyak hal yang telah kita lihat. Apalagi buat orang-orang yang hobi travelling
sepertinya belum afdhal kalau belum mengunjungi berbagai tempat destinasi
wisata.
Namun
dari sebegitu banyaknya perjalanan yang kita lakukan, berapa pelajaran yang
telah kita petik? Apa perubahan yang telah terjadi? Adakah semakin baik dan ia
menjadi keinsyafan diri? Atau malah perjalanan itu semakin membuat kita lupa
akan Rabb kita? Terlena dengan dunia dan sibuk hanya ingin memuaskan diri.
Kawan,
sungguh dalam perjalanan kita kemanapun itu. Layaknya perjalanan itu banyak hal
yang bisa petik hikmahnya. Dijadikan pembelajaran untuk perbaikan diri. Ia menjadi sebab matahati kita terbuka.
Semakin peka akan sekeliling. Memahami makna sebuah ukhuwah. Menyadari arti
seorang saudara. Memahamkan diri bahwa perjuangan kita belum ada. Kita belum
berbuat apa-apa. Semakin sadar bahwa ilmu begitu sedikit. Betapa banyak hal
yang harus dikerjakan.
Allah
perintahkan kita memperhatikan apa-apa yang ada di langit dan di bumi. Allah
perintahkan kita melihat tanda-tanda alam. Allah perintahkan kitaa untuk
berjalan di muka bumi. Bukankah semua itu agar kita mengambil pelajaran? Dan
pelajaran itu hanya bisa diambil oleh orang-orang yang beriman. Perjalanan itu
juga akan menjadi pembeda orang yang beriman dengan orang yang mendustakan
ayat-ayat Allah. Bukankah dengan perjalanan ini akhirnya kita mengerti,
menyadari, dan menambah keimanan kita. dan akhirnya dengan itu, semakin
yakinlah diri bahwa tiada apa-apa yang diciptakan Allah itu kecuali ia memiliki
manfaat. Sehingga timbullah sikap dalam diri semakin takut akan adzab neraka yang
pedih.
Kawan,
izinkan aku menceritakan kisah safar ini. Pada perjalanan ini, Allah takdirkan
untuk bertemu dengan manusia luar biasa. Ustadz Asep Rahmat namanya. Seorang
pendidik dan pengajar. Murabbi bagi para penghafal Qur’an, saya bertemu beliau
di Bandung. Beliau memberikan tempat tinggal selama saya di Bandung. Alhamdulillah, saya berkesempatan mendengarkan
majelis tafsir Qur’an dan nasihat-nasihat dari beliau. Satu hal yang sangat berkesan adalah sharing
santri dengan beliau sepekan sekali tentang berbagai masalah dan mencari
solusi. Dimalam itu beliau bercerita tentang seorang mahasiswa tahun pertama di
ITB, yang menikah muda dan istrinya juga adalah seorang mahasiswi ITB. Usia
mereka 18 dan 19 tahun. Yang menjadi
menarik dia menikah muda adalah karena orangtuanya dulu juga menikah muda. Dan
ia mempelajari sahabat-sahabat nabi juga menikah muda. Dan hasilnya kini
keduanya sudah bisa mandiri sambil kuliah. Tak ada lagi menyusahkan orangtua.
Lalu
perjalanan saya berlanjut ke Solo. Disini saya bertemu dengan para penghapal
Qur’an. Disini saya bertemu dengan orang-orang berilmu, namun usia mereka masih
muda. Ternyata banyak orang-orang berilmu, namun ia tak banyak dikenal orang.
Mereka hanya ingin menghasilkan manusia-manusia penerus risalah dakwah. Mengabdi
penuh keikhlasan tanpa mengharapkan balasan di dunia. Aku juga bertemu seorang
yang secara fisik memiliki kekurangan. Namun Allah naikkan derajatnya dengan
Qur’an.
Namun, tak lengkap rasanya berbicara Solo kalau tak menceritakan keramahan orangnya. Ya, Solo memang dikenal dengan masyarakat yang halus. Bahkan dikatakan kepadaku bahwa bahasa terhalus Bahasa Jawa adalah Bahasa Jawa Solo. Disini aku mulai belajar menata kata-kata dan merendahkan cara bicaraku. Maklumlah kawan, aku anak Medan. Aku coba untuk memperlembut lisan dan memperbaiki akhlak. Walaupun hasilnya masih jauh dari kata baik. Tapi aku coba saja. Lagian, bukankah perjalanan ini kulakukan juga untuk memperbaiki akhlakku. Aku selalu berpikir, apa guna banyak menimba ilmu, jika lisan dan akhlak masih saja buruk.
Namun, tak lengkap rasanya berbicara Solo kalau tak menceritakan keramahan orangnya. Ya, Solo memang dikenal dengan masyarakat yang halus. Bahkan dikatakan kepadaku bahwa bahasa terhalus Bahasa Jawa adalah Bahasa Jawa Solo. Disini aku mulai belajar menata kata-kata dan merendahkan cara bicaraku. Maklumlah kawan, aku anak Medan. Aku coba untuk memperlembut lisan dan memperbaiki akhlak. Walaupun hasilnya masih jauh dari kata baik. Tapi aku coba saja. Lagian, bukankah perjalanan ini kulakukan juga untuk memperbaiki akhlakku. Aku selalu berpikir, apa guna banyak menimba ilmu, jika lisan dan akhlak masih saja buruk.
Selepas
itu Allah perkenankan aku menginjakkan kaki di Jakarta. Kota dengan sejuta cerita.
Awal saja aku sampai sudah disuguhi dengan pemandangan berbeda. Di waktu
dinihari kota ini sudah sibuk sekali. Di perjalanan menuju tujuanku, aku
melihat sepanjang jalan wanita-wanita penjaja seks sibuk dengan pekerjaannya.
Ah, lemahnya diri yang tak mampu menghentikan kemaksiatan.
Sampailah
aku ke tempat tujuan. Tempatku ini ternyata tempat menampung anak-anak yatim
dan dhuafa. Mereka dididik untuk menghapal Qur’an dan dilatih untuk selalu
bangun malam. Usia mereka rentang 7-13 tahun. Masih muda bukan? Tapi seperti
yang pernah kukatakan mereka adalah manusia istimewa.
Aku
berkesempatan berkenalan dengan semua anak-anak disini. Mereka mengenalkan
namanya. Lalu kakak pengasuhnya menjelaskan asal mereka. Berasal dari berbagai
latar belakang. Memiliki keunikan masing-masing. Senang rasanya bisa bersama
mereka. Mengambil pelajaran dari mereka.
Kawan,
mereka ini memiliki semangat belajar yang tinggi. Ketika aku masuk mengajari
mereka bahasa inggris. Antusiasnya
sangat tinggi. Mereka berlomba bertanya. Setelah itu mereka memintaku untuk
bercerita. Aku bercerita dan semua semangat menyimak, bertanya, dan terkadang
menyeletuk. Mirisnya, ketika berbicara tentang shahabat nabi. Mereka lebih
mengetahui detail tentang shahabat nabi. Malu diriku kawan. Diakhir pelajaran
kutanyakan apa cita-cita mereka. Semuanya serentak menjawab. “ mau jadi
mujahid, mati syahid. Mau bebaskan masjid al-Aqsha”. Mau jadi penghapal Qur’an
kasih mahkota untuk orangtua. Hati ini malu sekali kawan, miris bukan? Aduhai,
sudahkah kita bercita-cita semulia itu? Kawan, mungkin itu yang bisa ia
lakukan. Karena sebagian dari mereka tak pernah bertemu orangtuanya sejak lahir
ke dunia. Maka untuk menunjukkan betapa sayang dan rindunya ia pada
orangtuanya. Ia ingin mempersembahkan mahkota kemuliaan bagi orangtuanya. Hai
adikku, sungguh mulianya citamu. Terimakasih telah mengajarkan kakakmu ini. Hal penting yang kupelajari disini, bahwa betapa pentingnya bercerita kepada anak. Hanya tinggal kisah apa yang disampaikan, siapa yang menyampaikan, dan bagaimana kisah itu dikemas? Kelak, hal itu akan sangat berpengaruh bagi si anak.
Di
perjalanan berikutnya berkesempatan mengunjungi dan membersamai orang-orang
berilmu. Mereguk manisnya majelis bersama mereka. Merasakan nikmatnya taman-taman
surga yang ada di dunia. Sungguh suatu
keberkahan bisa duduk dekat dengan mereka dan memperhatikan akhlaknya yang
menawan.
Di
Malang saya berkesempatan menimba ilmu dari Ustadz Abdullah Hadhrami
hafizhahullah. Ilmu beliau yang dalam, akhlak beliau yang indah, serta sikap
beliau yang ilmiah menjadi pelajaran yang sangat penting bagiku. Sungguh, ingin duduk dan berbincang berlama-lama bersama beliau. Pelajaran
penting dari beliau adalah jangan hanya mendengarkan kata orang lalu
ikut-ikutan sebelum meneliti dan memastikannya.
Selain
itu, akupun sempat mengambil ilmu dari Ustadz Muhaimin Iqbal. Dari beliau aku
semakin sadar, betapa banyaknya orang yang hapal Qur’an dan mengerti artinya.
Namun ia hanya mengambil bagian kecilnya saja, sedangkan bagian besar
ditinggal. Betapa kita belum sadar akan potensi umat ini dengan AlQur’an yang
dimilikinya. Membuat aku semakin berpikir apa yang harus kulakukan. Semakin
jelas makna-makna Qur’an dari beliau. Itu semua hasil tadabbur beliau selama
ini. Semoga Allah selalu melindungi mereka orang-orang istiqomah, menjadikan
hidupnya dengan penuh keberkahan, dan membuat usaha mereka selalu diridhoi
Allah tabaraka ta’ala. Serta semoga kita bisa mengikuti langkah mereka.
Selain
itu, aku semakin menyadari betapa pentingnya diri ini untuk terus memperbaiki
akhlak. Membuat keinsyafan diri untuk terus mencari keberkahan dalam segala
aktivitas. Seorang ustadz mewasiatkan kepadaku, carilah tempat yang membuat
diri kita semakin baik. Sedangkan ilmu dan dunia bisa dicari setelahnya.
Seperti pesan Ustadz Syihabuddin kepada santri-santrinya. Bukan perkara ilmu
apa yang telah kita dapat, namun seberapa berkah ilmu yang kita dapat. Agar
ilmu itu kelak bisa kita berikan kepada yang lain. Mungkin sangat sedikit hal
bisa kupetik hikmah dari perjalanan ini.
Namun akupun masih belajar. Satu hal kawan, satu ilmu yang kita dapat dari
orang shalih dimanapun ia berada. Itu lebih baik dari dunia dan seisinya. Maka,
jika perjalanan yang dilakukan itu dalam rangka mengunjungi orang-orang berilmu
dan shalih. Berapapun biaya yang habis itu tak masalah.
Diakhir
kawan, ternyata perjalanan ini membuatku semakin paham arti seorang saudara.
Apa itu makna ukhuwah. Kerinduan untuk bertemu dengan saudara-saudara. Betapa
pentingnya arti pertemuan dengan saudara. Begitu perlunya untuk selalu
berjama’ah. Terkadang keindahan ukhuwah
itu dapat kita rasakan setelah berjauhan dengan saudara. Membuat diri selalu
menantikan pertemuan kembali, dan perjuangan bersama-sama dalam satu ikatan.
Ah, aku akan terus merindukan saudara-saudaraku, apalagi masa-maa dulu kita
semua. Semoga akan kembali seperti dulu. Aku merindukan ukhuwah itu.
*ingin
ditulis di Solo, namun baru berhasil selesai di Pekanbaru.
Salam Hangat Dari Saudaramu
Sastrawan Tarigan
0 comments:
Post a Comment