Setiap
ada pertemuan pasti ada perpisahan. Itulah hidup. Sayangnya kita tak bisa
memilih dan menentukan dengan siapa kita bakal bertemu lalu berpisah. Kapan kita
bertemu dan berpisah. Dengan cara apa serta momen yang bagaimana kita bertemu
dan berpisah. Kalaulah bisa memilih, tentulah kita sangat ingin membuat
pertemuan dan perpisahan dengan indah. Ya, indah menurut pikiran kita.
Aku yakin
engkau pun pasti sering mengalami pertemuan-pertemuan dengan seseorang yang tak
pernah disangka-sangka. Ketemu di masjid lalu cerita, eh, jadi sahabat aja. Ketemu
di kereta, sama-sama bosan menunggu sampai tujuan. Akhirnya memulai
pembicaraan. Eh, udah akrab aja seperti udah kenal lama. Atau bertemu disatu
undangan dikenalin teman, yah besoknya sudah jadi sohib aja. Yah, tak diduga
tapi begitulah.
Tapi
tentu kita juga pernah mengalami pertemuan yang sekejap lalu sudah, usai. Seperti
pertemuan di busway cerita lalu berakhir, tanpa suatu hal yang jelas. Pertemuan di pesawat, atau pertemuan dengan
preman atau copet. Kan itu juga pertemuan. Singkat, padat, dan berkesan. Hehehe.
Sama
halnya dengan perpisahankan. Ada perpisahan yang begitu lama. Mulai bertemu
sejak kecil, berteman, jadi sahabat, hingga ajal yang memisahkan. Ada juga yang
bertemu, kenal berapa lama, lalu berpisah, tanpa apapun kejelasannya. Yang jelas
berpisah saja. Ada pula yang bertemu setiap hari ya bertemu aja. Kayak pedagang
dan pembeli di pasar.
Sama
denganmu, aku juga ditakdirkan Allah bertemu orang-orang yang luar biasa,
walaupun hanya dalam waktu singkat. Ya, sangat singkat sekali. Pertemuan pertama
aku menyalaminya. Dipertemuan kedua aku sudah ikut menyalatinya.
Pertama,
Allah takdirkan aku bertemu dengan ustadz Badru. Beliau seorang pengajar di
pondok pesantren Isy Karima. Saat itu beliau sedang terbaring lemah di rumah
sakit. Aku belum mengenalnya, karena aku baru sampai di Solo. Aku hanya
mendengar keistiqomahan dan tawadhu’ serta sikap wara’ beliau dari
santri-santrinya. Aku menyalami
tangannya yang sedang terbaring.
Itulah
pertemuan pertamaku dengan beliau. Setelah itu aku tak pernah bertemu lagi
dengan beliau. Aku hanya mengikuti perkembangan kondisi beliau dari teman-teman
santri beliau. Namun, beberapa minggu kemudian kabar itu datang. Beliau telah
meningal. Begitu cepat kabar tersebut. Padahal itu baru beberapa hari setelah
Idul Adha.
Aku memang
tak mengenal beliau secara pribadi, tak pernah ikut majelis beliau. Tapi aku
menjadi saksi bahwa beliau adalah orang yang istiqomah d jalan yang lurus,
penyambung silaturrahim, dan penjaga ukhuwah. Aku bisa menyaksikan itu ketika
shalat jenazah. Sudah sering aku ikut shalat jenazah, tapi belum pernah aku
ikut shalat jenazah seperti ini. Ribuan orang ikut menyalati beliau, kami semua
menangis melepas beliau, menangis dalam shalat kami, kami menangis ketika mendo’akan
beliau. Ini bukan duka Isy Karima tapi duka umat Islam di Jawa tengah. Orang terus
berdatangan dan bergantian untuk menyalatkan beliau. Ya beliau rahimahullah. Semoga
Allah menyayangi beliau dan menjadikan kuburnya sebagai taman-taman surga.
Kedua,
Allah takdirkan aku bertemu dengan Dokter Tunjung Suharso. Ketika itu beliau
berkunjung ke salah satu unit Isy Karima tempat aku mengabdi. Aku menyalami dan
mencium tangannya. Aku sudah lama mendengar namanya, begitu familiar. Tapi aku
tak tahu beliau yang mana. Maka Allah pertemukan kami. Beliau adalah penyokong utama pondok pesantren
Isy Karima. Dokter ahli bedah terkemuka. Beliau adalah bapak dari huffazh.
Belakangan
kondisi beliau memang kurang sehat. Tak lama setelah itu, kudapati kabar
kondisi beliau memburuk. Dan beberapa waktu kemudian, kudapati kabar kembali
bahwa beliau sudah meninggal. Begitu cepat semuanya. Allah hanya izinkan aku
bertemu sekali dengan beliau. Begitu singkatnya semuanya, terkadang bahkan
seperti tak disadari.
Kami
kembali berduka, ini adalah tahun duka bagi semuanya. Kami menyalatkan beliau
pukul 12 malam. Namun masjid penuh dihadiri ribuan orang. Sampai ke pemakaman
kami mengantarkan jenazahnya. Kami semua tak merasakan kantuk untuk
mengantarkannya ke pemakaman. Walaupun tempatnya cukup jauh dan harus berjalan
kaki.
Aku tak
banyak mengenal tentang beliau. Namun ketika mendengar cerita santri dan ustadz
tentang beliau. Jelaslah beliau manusia yang banyak manfaat bagi orang lain. Kabar
meninggalnya beliau banyak ditulis di koran lokal solo. Maka ku cek apa tanggapan
orang tentang beliau. Di salah satu media online Solo kucek satu persatu
komentar masyarakat. Aku begitu terharu ketika mereka pun begitu sedih. Mereka berkisah
tentang beliau yang telah banyak membantu mengobati orang yang sakit dengan
izin Allah, meringankan beban orang yang berobat, bahkan tak sedikit yang
beliau gratiskan. Itulah beliau.
Mereka
berdua, Ustadz Badru dan Dokter tunjung telah dipanggil Allah. Kami menyayangi
kalian berdua wahai orang-orang mulia, tapi Allah lebih mencintai kalian. Kini kalian
telah tiada, tapi nama kalian tetap diingat dan pribadi kalian coba kami
teladani. Perjuangan kalian coba kami lanjutkan. Kami yang ditinggal kini yang
perlu memikirkan bagaimana kelak kami mati. Padahal kematian tak dapat
dimajukan atau dimundurkan walau sedetik jua.
Begitulah
pertemuan dan perpisahan kita. tak dapat kita skenariokan bagaimana awal dan
akhirnya. Sudah berapa banyak pertemuan dan perpisahan terjadi dalam hidup
kita? Terkadang terasa menyesakkan terkadang juga melapangkan dada. Kita hanya
perlu berusaha membuat pertemuan dan perpisahan yang baik.
Kini
aku mungkin berkesempatan bertemu dengan semua kalian wahai saudaraku. Tak sempat
aku mengucapkan kata maaf atas salahku, menghalalkan apa yang haram kuperbuat
atas kalian. Mungkin bisa jadi ini menjadi pertemuan terakhir kita sekaligus
menjadi perpisahan kita. Bahkan bertemu muka pun kita tak sempat.
Kepadamu,
ketahuilah aku sangat menyayangimu, sangat membanggakanmu, begitu merindukan
kehadiran bersamamu. Itulah, mungkin aku tak bisa mengatakan secara langsung. Aku
bingung untuk menunjukkannya. Jika ini menjadi pertemuan terakhir, aku berharap
perpisahan ini menjadi titik balikmu untuk terus berjuang. Besar harapanku akan itu.
Salam Hangat dari Saudaramu
Sastrawan Tarigan
0 comments:
Post a Comment