Saturday, November 28, 2015

Guru dan Murid



Guru, jelas tak asing terdengar di telinga kita bukan? Apa definisinya? Izinkanlah saya mendefinisikan guru sebagai orang yang memberi pengajaran dalam bentuk apapun, situasi apapun, dan dengan yang bagaimanapun. Maka tak salah jika kita menyebut pengalaman adalah guru terbaik.
Setiap ada guru tentulah ada murid. Toh mereka adalah elemen yang tak terpisahkan. Satu sama lain saling melengkapi. Dan selalu ada kisah-kisah bagi mereka. Tersebutlah kata, “ guru kencing berdiri murid kencing berlari”. Pada siapa kita belajar, itu akan menjadi cerminan diri kita. walau tak selamanya hal itu benar. Kan terkadang guru yang baik, bisa saja melahirkan murid yang berkebalikan. Boleh jadi muridnya tak banyak mengambil faidah atas gurunya.

Tak layak mungkin diri untuk menuliskan hal-hal tentang ini. Namun, keresahan hati atau barangkali ini cerminan diri yang dituangkan dalam tulisan ini. Saya cobalah menuliskan sedikit apa yang telah saya dengar. Dari orang-orang shalih tentang guru dan murid. Akupun coba mengambil manfaat, dan coba mengais untuk lebih memahamkan diri.
Tersebutlah kisah dari orang-orang agung. Kisah-kisah antara guru dan murid. Tentulah tak ada manusia lebih agung daripada Baginda Muhammad SAW. Akhlak beliau yang begitu menawan, tiada tara. Yang wajahnya memberikan semangat untuk beramal, perkataannya memberikan spirit dan pembaharuan, apatah lagi jika perbuatannya. Setiap perbuatannya membuat kita ingin bergerak dan tak ingin ketinggalan. Walaupun akhirnya pergerakan kita dengan kadar keimanan kita masing-masing. Ya, beliaulah manusia yang akhlaknya tertuang dalam AlQur’an. Sentiasa disebut dan diikuti apapun perbuatan beliau. Beliaulah manusia agung penuh kemuliaan.
Maka tak heran bagi kita para shahabat pun memiliki kepribadian menawan. Shahabat yang Mulia Ali ra, menyebutkan “siapa yang memberikan ilmu padanya, maka dirinya layak untuk orang tersebut”. Sungguh perkataan yang menggambarkan ta’zhimnya ia pada gurunya. Indah sekali. Hasil pendidikan langsung dari nabi.
Bolehlah kita mencoba menyelami kisah-kisah manusia mulia dahulu perihal murid dan guru. Tersebutlah kisah imam Abu Hanifah yang sedang menuntut ilmu pada gurunya. Disatu waktu sang guru dimintakan datang ke istana raja yang berkuasa perihal menjawab pertanyaan orang atheis. Hal ini membuat sang guru gelisah. Bukan perkara ia tak bisa menjawab, namun khawatir orang awam akan terpengaruh akan si atheis. Maka dengan hormatnya imam Abu Hanifah meminta ia menggantikan gurunya. Mengapa? Karena jika seandainya beliau kalah gurunya tak perlu malu, dan jika ia menang itupun jadi kebaikan. Maka berangkatlah ia ke istana, melihat yang datang bukan gurunya. Ditanyakan dimana gurunya. Sungguh menawan jawaban beliau. Guruku tak layak untuk perkara sekecil ini. Indah bukan? Khidmat seorang guru pada muridnya.
Atau dikisah lain kita menemukan seorang Imam Syafi’i yang ketika belajar kepada imam Malik. Pada satu waktu dalam majelis imam Malik sedang membacakan hadits, dan imam Syafi’i pun menuliskan hadits-hadits tersebut ditangannya untuk dihapal, karena orangtuanya tak mampu membelikan peralatan untuknya. Setiap hadits ia tulis ditelapak tangannya dengan jari tangannya. Setiap ia tuliskan dan ia langsung hapalkan sampailah jumlahnya 200 hadits. Ba’da majelis imam Malik pun mendatangi imam Syafi’i. Ia berkata, “ sungguh aku menyukai apa-apa darimu kecuali satu, akhlakmu.” Imam Syafi’i terhenyak mendengarnya, gurunya menyebutkan apa yang ia hindarkan dan takutkan. “mengapa engkau berkata begitu ya guru?” tanya beliau. “Aku sedang membacakan hadits, sedangkan engkau sibuk dengan tanganmu”. Jawab imam Malik. “Aku sedang menuliskan apa yang engkau bacakan wahai guru” sebut imam Syafi’i. “mana tanganmu?” imam Syafi’i  menunjukkan tangannya. “Aku tak melihat apapun ditanganmu”. “Ya guru, aku menuliskan dengan jariku hadits yang engkau bacakan lalu kuhapalkan. Dan begitu sampai engkau habis membacakan semua hadits”. Imam Malik meminta imam Syafi’i membacakan semua haditsnya. Dibacakan ke 200 hadits yang telah disebutkan imam malik. Hingga imam Malik berkata. “besok engkau yang membacakan hadits”.
Dikisah lain kita dapatkan ketika imam Ahmad membuat satu majelis yang dihadiri 50000 orang. Diantara mereka semua hanya 500 orang yang mencatat apa yang disampaikan imam Ahmad. Sisanya apa yang mereka lakukan? Mereka memperhatikan akhlak imam Ahmad, dari setiap apapun yang dilakukan. Dan banyak lagi kisah-kisah orang mulia terdahulu yang memiliki khidmat yang luar biasa pada guru.
Apa sebab ini semua? Jelas sikap timbal balik antara guru dan murid yang membuat kita terpukau karena begitu menawan. Adanya satu kepribadian yang dapat dicontoh dari guru. Yang ditirukan oleh Baginda Muhammad SAW, dan terus dicontoh para generasi terbaik dari ummat ini. Sungguh indah kisah guru dan murid ini, lebih indah daripada sekadar kisah romantika.
Apakah aku sudah seperti itu? Jangan tanyakan itu padaku kawan. Akupun masih jauh dari itu, dan aku sedang berandai-andai apakah aku bisa ta’zhim dan berkhidmat pada guruku sedemikian besar? Namun, sungguh kita pun menyadari ta’zhim dan khidmat itu hanya akan diberikan kepada guru yang kita bisa mencontoh kepribadiaannya. Ah, akupun hanya murid yang banyak tak begitu pada guruku. Padahal bukankah itu salah satu syarat keberkahan ilmu? Ya. Semoga menjadi keinsyafan aku sebagai murid dan guru sekarang untuk kembali menciptakan harmoni yang indah antara keduanya yang saling bertautan.
 Teruntuk guruku yang selalu aku sayangi, aku muliakan, dan ingin kuikuti jejaknya. Yang entah kapan tanggal lahirnya, teramat luas ilmunya, begitu baik akhlaknya. Pak Nasrum.



Salam Hangat
Sastrawan Tarigan

0 comments:

Post a Comment