Guru, jelas tak asing terdengar di telinga kita bukan? Apa
definisinya? Izinkanlah saya mendefinisikan guru sebagai orang yang memberi
pengajaran dalam bentuk apapun, situasi apapun, dan dengan yang bagaimanapun.
Maka tak salah jika kita menyebut pengalaman adalah guru terbaik.
Setiap ada guru tentulah ada murid. Toh mereka adalah elemen
yang tak terpisahkan. Satu sama lain saling melengkapi. Dan selalu ada
kisah-kisah bagi mereka. Tersebutlah kata, “ guru kencing berdiri murid kencing
berlari”. Pada siapa kita belajar, itu akan menjadi cerminan diri kita. walau
tak selamanya hal itu benar. Kan terkadang guru yang baik, bisa saja melahirkan
murid yang berkebalikan. Boleh jadi muridnya tak banyak mengambil faidah atas
gurunya.
Tak layak mungkin diri untuk menuliskan hal-hal tentang ini.
Namun, keresahan hati atau barangkali ini cerminan diri yang dituangkan dalam
tulisan ini. Saya cobalah menuliskan sedikit apa yang telah saya dengar. Dari
orang-orang shalih tentang guru dan murid. Akupun coba mengambil manfaat, dan
coba mengais untuk lebih memahamkan diri.
Tersebutlah kisah dari orang-orang agung. Kisah-kisah antara
guru dan murid. Tentulah tak ada manusia lebih agung daripada Baginda Muhammad
SAW. Akhlak beliau yang begitu menawan, tiada tara. Yang wajahnya memberikan
semangat untuk beramal, perkataannya memberikan spirit dan pembaharuan, apatah
lagi jika perbuatannya. Setiap perbuatannya membuat kita ingin bergerak dan tak
ingin ketinggalan. Walaupun akhirnya pergerakan kita dengan kadar keimanan kita
masing-masing. Ya, beliaulah manusia yang akhlaknya tertuang dalam AlQur’an.
Sentiasa disebut dan diikuti apapun perbuatan beliau. Beliaulah manusia agung
penuh kemuliaan.
Maka tak heran bagi kita para shahabat pun memiliki
kepribadian menawan. Shahabat yang Mulia Ali ra, menyebutkan “siapa yang
memberikan ilmu padanya, maka dirinya layak untuk orang tersebut”. Sungguh
perkataan yang menggambarkan ta’zhimnya ia pada gurunya. Indah sekali. Hasil
pendidikan langsung dari nabi.
Bolehlah kita mencoba menyelami kisah-kisah manusia mulia
dahulu perihal murid dan guru. Tersebutlah kisah imam Abu Hanifah yang sedang
menuntut ilmu pada gurunya. Disatu waktu sang guru dimintakan datang ke istana
raja yang berkuasa perihal menjawab pertanyaan orang atheis. Hal ini membuat
sang guru gelisah. Bukan perkara ia tak bisa menjawab, namun khawatir orang
awam akan terpengaruh akan si atheis. Maka dengan hormatnya imam Abu Hanifah
meminta ia menggantikan gurunya. Mengapa? Karena jika seandainya beliau kalah
gurunya tak perlu malu, dan jika ia menang itupun jadi kebaikan. Maka
berangkatlah ia ke istana, melihat yang datang bukan gurunya. Ditanyakan dimana
gurunya. Sungguh menawan jawaban beliau. Guruku tak layak untuk perkara sekecil
ini. Indah bukan? Khidmat seorang guru pada muridnya.
Atau dikisah lain kita menemukan seorang Imam Syafi’i yang
ketika belajar kepada imam Malik. Pada satu waktu dalam majelis imam Malik
sedang membacakan hadits, dan imam Syafi’i pun menuliskan hadits-hadits
tersebut ditangannya untuk dihapal, karena orangtuanya tak mampu membelikan
peralatan untuknya. Setiap hadits ia tulis ditelapak tangannya dengan jari
tangannya. Setiap ia tuliskan dan ia langsung hapalkan sampailah jumlahnya 200
hadits. Ba’da majelis imam Malik pun mendatangi imam Syafi’i. Ia berkata, “
sungguh aku menyukai apa-apa darimu kecuali satu, akhlakmu.” Imam Syafi’i
terhenyak mendengarnya, gurunya menyebutkan apa yang ia hindarkan dan takutkan.
“mengapa engkau berkata begitu ya guru?” tanya beliau. “Aku sedang membacakan
hadits, sedangkan engkau sibuk dengan tanganmu”. Jawab imam Malik. “Aku sedang
menuliskan apa yang engkau bacakan wahai guru” sebut imam Syafi’i. “mana
tanganmu?” imam Syafi’i menunjukkan
tangannya. “Aku tak melihat apapun ditanganmu”. “Ya guru, aku menuliskan dengan
jariku hadits yang engkau bacakan lalu kuhapalkan. Dan begitu sampai engkau
habis membacakan semua hadits”. Imam Malik meminta imam Syafi’i membacakan
semua haditsnya. Dibacakan ke 200 hadits yang telah disebutkan imam malik.
Hingga imam Malik berkata. “besok engkau yang membacakan hadits”.
Dikisah lain kita dapatkan ketika imam Ahmad membuat satu
majelis yang dihadiri 50000 orang. Diantara mereka semua hanya 500 orang yang
mencatat apa yang disampaikan imam Ahmad. Sisanya apa yang mereka lakukan? Mereka
memperhatikan akhlak imam Ahmad, dari setiap apapun yang dilakukan. Dan banyak
lagi kisah-kisah orang mulia terdahulu yang memiliki khidmat yang luar biasa
pada guru.
Apa sebab ini semua? Jelas sikap timbal balik antara guru dan
murid yang membuat kita terpukau karena begitu menawan. Adanya satu kepribadian
yang dapat dicontoh dari guru. Yang ditirukan oleh Baginda Muhammad SAW, dan
terus dicontoh para generasi terbaik dari ummat ini. Sungguh indah kisah guru
dan murid ini, lebih indah daripada sekadar kisah romantika.
Apakah aku sudah seperti itu? Jangan tanyakan itu padaku
kawan. Akupun masih jauh dari itu, dan aku sedang berandai-andai apakah aku
bisa ta’zhim dan berkhidmat pada guruku sedemikian besar? Namun, sungguh kita
pun menyadari ta’zhim dan khidmat itu hanya akan diberikan kepada guru yang
kita bisa mencontoh kepribadiaannya. Ah, akupun hanya murid yang banyak tak
begitu pada guruku. Padahal bukankah itu salah satu syarat keberkahan ilmu? Ya.
Semoga menjadi keinsyafan aku sebagai murid dan guru sekarang untuk kembali
menciptakan harmoni yang indah antara keduanya yang saling bertautan.
Teruntuk guruku yang selalu aku sayangi, aku muliakan, dan ingin kuikuti jejaknya. Yang entah kapan tanggal lahirnya, teramat luas ilmunya, begitu baik akhlaknya. Pak Nasrum.
Salam Hangat
Sastrawan Tarigan
0 comments:
Post a Comment